Rabu, 05 Juni 2013

Filsafat Eksistensialisme


 FILSAFAT EKSISTENSIALISME

I. PENDAHULUAN
     1.    Latar Belakang
Masalah ilmu pengetahuan mungkin menjadi masalah terpenting bagi kehidupan manusia. Hal itu menjadi ciri manusia senantiasa bereksistensi, tidak hanya berada seperti batu atau rumput, tetapi mengada. Oleh karena itu manusia berbudaya, mengembangkan ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk kehidupan pribadi dan lingkungannya yang telah mereka antisipasikan.[1]
Orang yang memandang hidup sudah selesai mempunyai sikap pasrah dan “menerima”, sementara kaum eksistensialis yang memandang hidup belum selesai mempunyai sikap berusaha dan berjuang, hidup ini perlu dan harus diperbaiki. Bagi orang yang merasa hidup sudah jadi, situasi hidup menjadi sama saja, tidak ada situasi penting, mendesak, atau genting. Karena hidup selalu berjalan normal.[2]
     2.   Rumusan Masalah
1. Apa itu eksistensialisme?
2. Apa hubungan eksistensialisme dengan matrealisme dan idealisme?
3. Apa saja ciri ajaran eksistensialisme?
4. Apa saja prinsip-prinsip eksistensialisme?
5. Siapa sajakah tokoh filsafat eksistensialsme?

II. PEMBAHASAN
1.      Pengertian Eksistensialisme
             Secara etimology, menurut Save M. Dagun,kata eksistensi berasal dari bahasa latin existere, yang berasal dari kata ex (keluar) dan sitere (membuat berdiri).[3] Oleh karena itu, kata eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada.[4]
            Sedangkan secara terminology, eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala hal berpangkal pada eksistensinya. Artinya, bahwa eksistensialisme merupakan cara manusia berada atau lebih tepatnya mengada di dunia ini.
            Menurut Mortin Heidegger (1889-1976) “Das Wesen des Dasein Lieght in Seiner Existenz” (inti Dasein terletak pada eksistensinya).[5] Dasein berasal dari kata da (disana) dan sein (berada) sehingga Dasein berarti berada disana, yaitu lebih menunjukkan tempat. Eksistensi adalah pangkalnya, sedangkan dasein lebih menyangkut kehadirannya.[6] Sedangkan menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre” melainkan “ a etre” yang artinya manusia itu tidak hanya ada tetapi dia selamanya harus dibentuk tidak henti-hentinya.
Eksistensialisme menurut wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
            Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan.
             Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.
            Namun, menjadi eksistensialis, tidak harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah  inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.
            Kaum eksistensialis menyarankan kita untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji. Baik itu benda, perasaaan, pikiran, atau bahkan eksistensi manusia itu sendiri untuk menampakkan dirinya pada kita. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman, dengan menerimanya, walaupun tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau keyakinan kita. [7]
    2.     Eksistensialisme Sebagai Perlawanan Matrealisme dan Idealisme
            Eksistensialisme sebagai perlawanan matrealisme dan idealisme dikemukakan oleh Danish Soren Kiekegaard (1813-1855). Pada prinsipnya, matrealisme dinilai tidak lengkap, demikian pula idealisme. Secara matrealisme, manusia dipandang hanya sebagai objek, maksudnya, manusia hanya resultante atau akibat dari proses unsur-usur kimia. Sedang, secara idealisme, manusia hanya subjek, manusia cukup diwakili oleh kesadarannya.[8]
            Selanjutnya, eksistensialisme hadir membantah kedua prinsip tersebut, dalam eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada” sedangkan manusia “bereksistensi”.[9] Bagi eksistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang terpisah dari kehidupa manusia, tidak akan bermakna atau tidak mempunyai tujuan. Dunia dan segala materi hanya akan bermakna karena manusia. Demikian dikemukakan oleh Kneller.[10]
   3.      Ciri Ajaran Eksistensialisme
            Ciri ajaran eksistensialisme antara lain:
a.       Motif pokok adalah yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada di dunia ini. Hanya manusia yang bereksistensi.
b.      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis, yakni setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
c.       Dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya, manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih-lebih pada sesama manusia.
d.      Eksistensi memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial.[11]
   4.      Prinsip-prinsip Eksistensialisme
            Prinsip-prinsip eksistensialisme antara lain ;
a.       Tidak mementingkan metafisika (Tuhan), memberikan pemahaman kepada individual, kebebasan dan penanggungjawabannya.
b.      Kebenaran lebih bersifat eksistensial daripada proposional atau factual karena mausia tidak tunduk terhadap apa yang diluar darinya, maka nilai-nilai tidak dicari dari luar diri manusia melainkan dicari dari dalam manusia itu sendiri. Nilai hidup dalam diri manusia. Oleh karena itu, apa yang disebut baik atau buruk tergantung atas keyakinan pribadinya.
c.       Eksistensialisme memandang individu dalam kadaan tunggal selama hidupnya dan individu hanya mengenal dirinya dalam interaksi dirinya sendiri dengan kehidupan.
d.      Tidak mementingkan jawaban-jawaban pasti tehadap masalah-masalah filsafat yang penting. Eksistensialisme mengajarkan manusia harus mencari jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah denga cara mengenal diri sendiri.
e.       Jiwa aliran ini mengutamakan manusia dalam mempertahankan eksistensi pribadinya.[12]
    5.      Tokoh – tokoh aliran Eksistensialisme
a.       Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
b.      Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
c.       Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
d.      Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
e.       Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menentukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri. [13]
III. PENUTUP
1.       Kesimpulan

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan essensia dari segala yang ada, karena memang sudah ada dan tidak perlu dipersoalkan. Namun, mereka mempersoalkan sebagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Eksistensialisme sebagai bagian dari aliran filsafat mempunyai cara pandang yang cukup akrab dengan kondisi riil dalam konteks kenyataan di lapangan. Sehingga filsafat ini lebih mengandalkan eksistensi obyek dibanding harus memaknai obyek tersebut secara lebih mendalam seperti mengkaji aspek metafisimennya.[14]

2.      Penutup
Demikianlah makalah yang dapat disampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf serta dengan senang hati kami menerima saran, masukan dan solusi yang bersifat konstruktif. Akhir kata, semoga bermanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amiien.
DAFTAR PUSTAKA
1  Wiramiharjo, Sutardja A,2006,Pengantar Filsafat,Bandung: Refika Aditama
2 Ash Sadr, Muhammad Baqir, 1991,Filsafatuna, Bandung: Mizan Pustaka
3  Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia
4  Surajio, 2005, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara
5  http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme#cite_note-0
6  Salam, Burhanuddin, 1997, Logika Materiil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rinke Cipta
7  http://www.blogger.com/post-create.g?
8  Majid, Abdul. http://filsafat kita.f2gnet/alr3.atm



[1] Wiramiharjo, Sutardja A,2006,Pengantar Filsafat,Bandung: Refika Aditama
[2] Ash Sadr, Muhammad Baqir, 1991,Filsafatuna, Bandung: Mizan Pustaka
[3] Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia
[4] Surajio, 2005, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara
[5] Wiramiharjo, Sutardja A, 2006, Pengantar Filsafat, Bandung: Refika Aditama
[6] Op. Cit
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme#cite_note-0
[8] Op. Cit
[9] Surajio, 2005, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara
[10] Salam, Burhanuddin, 1997, Logika Materiil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rinke Cipta
[11] Ibid
[12] Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia
[13] http://www.blogger.com/post-create.g?
[14] Majid, Abdul. http://filsafat kita.f2gnet/alr3.atm

Resensi Buku Sunan Kudus

Judul               : Jejak Perjuangan Sunan Kudus Dalam Membangun Karakter Bangsa
Penulis             : Nur Said,S.Ag.,M.A.,M.Ag.
Penerbit           : Brillian Media Utama
Tahun Terbit    : 10 Oktober 2010
Kota terbit       : Bandung
Tebal Buku      : iv+259 halaman
ISBN               : 978-979-16440-4-4

MEMBEDAH JEJAK PERJUANGAN SUNAN KUDUS
Oleh : Nawwal Amalia Syafiq/111520/PBA B
            Situasi masyarakat Jawa sebelum kedatangan Islam, kehidupannya banyak dipengaruhi oleh sistem kasta atau perbedaan golongan kelas, sehingga kehidupan masyarakat terpecah-pecah. Maka ketika Islam datang ke tanah Jawa, masyarakat penasaran dengan sistem ajaran yang dibawa oleh Walisongo. Maka ketika Islam mulai tersebar secara bertahap perbedaan kasta itu mulai terkikis dan hak asasi manusia mulai mendapat tempat secara lebih layak, meski melalui proses yang sangat panjang sehingga harkat dan martabat umat semakin terangkat.
            Kehadiran Walisongo dalam trasmisi Islam di Jawa sudah diakui banyak pihak, Kabupaten Kudus misalnya. Kabupaten Kudus dikenal sebagai pusat wisata spiritual karena dua dari sembilan Walisongo adalah terdapat di Kudus. Mereka adalah Raden Syahid yang dikenal dengan Sunan Muria dan Sayyid Ja’far Shodiq yang lebih populer dengan Sunan Kudus. Namun Sunan Kudus memiliki pengaruh lebih luas di daerah Kudus daripada Sunan Muria. Sunan Kuduslah yang dikenal sebaga peletak cikal bakal dari Kota Kudus yang terkenal hingga sekarang ini.
Nama, Nasab, dan Silsilah
Dari segi silsilahnya Sayyid Ja’far Shodiq yang tak lain adalah Sunan Kudus adalah putera dari Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung di Jipang Panolan ( ada yang mengatakan letaknya di sebelah utara Kota Blora). Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian beliau berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul.
Mengenal silsilah Sunan Kudus secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut : Nabi Muhammad SAW – Ali bin Abi Tholib r.a. – S. Husein – S. Zaenal Abidin – Syekh Mahmudi Nil Kabir – S. Dulnapi kawin dengan puteri dari Barwijaya V – mendapat putera Kanjeng Sunan Ampel – Nyi Ageng Manyuro  kawin dengan S.K.Ngusman melahirkan Kanjeng Sunan Ngudung – Kanjeng Sunan Kudus
Karya dan Peninggalan Sunan Kudus
            Sunan Kudus memiliki kepekaan yang tinggi dalam olah rasa (pangrasa) layaknya sang pujangga sehingga menghasilkan buah karya sastra yang bernilai tinggi seperti tembang Mijil dan Maskumambang. Beliau juga kreatif dalam menggubah cerita-cerita yang menggugah terutama yang bermuatan ketauhidan. Selain itu beliau juga meninggalkan bangunan monumental Masjid Al-Aqsha dan Menara Kudus yang begitu artistik dan menakjubkan. Bahkan menara Kudus ini menjadi land mark  (identitas) dari kota Kudus. Sunan Kudus juga meninggalkan pusaka keris yang diberi nama Ciptaka atau Cintaka yang setiap bulan Muharram menjelang buka luwur diadakan proses ritual jamas oleh sesepuh (orang-orang terpilih).
            Sunan Kudus sering disebut sebagai “Guru Akbar” dengan predikat Waliyyul ‘Ilmi karena beliau sebagai ilmuwan dan pecinta ilmu. Selain itu beliau juga sosok pengusaha yang ulet, tegas dalam memimpin, merakyat (populis), kreatif dalam mengembangkan seni dan budaya, tegas dan disiplin, toleransi yang tinggi, patriotis, sufistik, pujangga (puitis), mandiri (jiwa saudagar) dan apresiasi terhadap perbedaan budaya (multikulturalis).
            Sudah menjadi realitas bahwa Kanjeng Sunan Kudus telah diakui oleh sebagian besar umat Islam terutama di Kudus sebagai figur kunci dalam lintas sejarah hari jadi Kabupaten Kudus dan proses terbentuknya sistem sosial masyarakat Kudus. Realitas tersebut telah membawa implikasi bagi sebagian besar masyarakat Kudus dan sekitarnya dalam menjadikan Kanjeng Sunan Kudus sebagai “model” yakni sebagai sosok yang bisa diteladani dan diserap spiritualismenya yag semula masih tersembunyi dibalik berbagai warisan budayanya.
            Penulis menjadikan buku ini menarik untuk dibaca karena pendekatan yang digunakan tidak menggunakan murni sejarah, tetapi digabung dengan pendekatan semiotik sebuah pendekatan pos-strukturalis yang mengkaji fenomena tanda (sign) budaya dalam jejaring makna yang masih jarang digunakan dalam kajian sejarah. Dengan kajian semiotik ini penulis mampu meramu keragaman data menjadi sebuah sajian kuat dalam analisis bahkan mitologi yang selama ini menjadi data yang dipinggirkan justru diposisikan sebagai sistem komunikasi (sign) yang di dalamnya syarat akan makna (ideologi). Kajian ini juga diperkaya dengan pendekatan sosio-folklore dengan didukung data-data arkeologis sehingga berbagai sejarah lisan, tradisi maupun artefak menjadi bagian penting dalam kajian ini. Namun dalam buku ini masih ditemui kata-kata yang tidak dilengkapi dengan penjelasan-penjelasannya. Sehingga sedikit mempersulit kita dalam mencerna dan memahami isi dari bab dan bahasan tersebut. Walaupun begitu buku ini tetap menarik untuk dibaca oleh semua kalangan sebagai tokoh teladan bagi para pemimpin lainnya.